Rabu, 07 Desember 2022

Pelatihan Tenaga Kesehatan Terpadu Keswa 2022

Pontianak, 5 - 10 Desember 2022

Dewasa ini masalah kesehatan jiwa semakin mendapat perhatian masyarakat dunia. Satu atau lebih gangguan jiwa dan perilaku dialami oleh 25% dari seluruh penduduk pada suatu masa dari hidupnya. World Health Organization (WHO) menemukan bahwa 24% pasien yang berobat ke pelayanan kesehatan primer memiliki diagnosis gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang sering ditemukan di pelayanan kesehatan primer antara lain adalah depresi dan cemas, baik sebagai diagnosis tersendiri maupun komorbid dengan diagnosis fisiknya (World Health Report 2001).



Sementara itu masalah kesehatan jiwa di Indonesia cukup besar. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018), data nasional untuk gangguan mental emosional (gejala depresi dan cemas) yang dideteksi pada penduduk usia ≥15 tahun atau lebih, dialami oleh 6% penduduk atau lebih dari 14 juta jiwa; sedangkan gangguan jiwa berat (psikotik) dialami oleh 1.7/1000 atau lebih dari 400.000 jiwa. Sebesar 14,3% dari gangguan psikotik tersebut atau sekitar 57 ribu kasus mengatakan pernah dipasung. Tidak sedikit masalah kesehatan jiwa tersebut dialami oleh usia produktif, bahkan sejak usia remaja. Depresi juga dapat terjadi pada masa kehamilan dan pasca persalinan, yang dapat mempengaruhi pola asuh serta tumbuh kembang anak.




Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 dan Riskesdas tahun 2018, ditemukan bahwa semakin lanjut usia, semakin tinggi gangguan mental emosional yang dideteksi. Maka upaya-upaya dalam peningkatan kesehatan jiwa masyarakat, pencegahan terhadap masalah kesehatan jiwa dan intervensi dini gangguan jiwa seyogyanya menjadi prioritas dalam mengurangi gangguan jiwa berat di masa yang akan datang.



Beban yang ditimbulkan akibat masalah kesehatan jiwa cukup besar. Di Indonesia saat ini gangguan jiwa menduduki nomor 2 terbesar penyebab beban disabilitas akibat penyakit berdasarkan YLD (years lived with disability). Depresi sendiri merupakan peringkat ke 8 penyebab beban utama akibat penyakit berdasarkan DALY’s (disability-adjusted life year), sedangkan usia terbanyak yang dipengaruhi adalah usia produktif antara 15-45 tahun (The Global Burden of Disease Study, 2010).






Di samping itu masalah kesehatan jiwa tersebut dapat menimbulkan dampak sosial antara lain meningkatnya angka kekerasan baik di rumah tangga maupun di masyarakat umum, bunuh diri, penyalahgunaan napza (narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya), masalah dalam perkawinan dan pekerjaan, masalah di pendidikan, dan semua dampak tersebut akan mengurangi produktivitas. Hal ini perlu diantisipasi, mengingat WHO mengestimasikan depresi akan menjadi peringkat ke-2 penyebab beban akibat penyakit di dunia (global) setelah jantung pada tahun 2020, dan menjadi peringkat pertama pada tahun 2030.




Namun demikian kesenjangan pengobatan (treatment gap) antara masyarakat yang membutuhkan layanan dan yang mendapatkan layanan kesehatan jiwa di negara-negara berkembang termasuk Indonesia sangat besar yaitu lebih dari 90%. Hal ini berarti bahwa hanya kurang dari 10% pasien gangguan jiwa mendapatkan pengobatan. Kesenjangan pengobatan tersebut antara lain disebabkan adanya hambatan dalam akses layanan kesehatan jiwa.




Kondisi yang terjadi saat ini adalah terdapatnya beban yang sangat besar di RSJ/RS rujukan utama (layanan tersier) di Indonesia, meskipun sebagian dari kasus tersebut sebenarnya dapat ditangani di pelayanan kesehatan primer. Layanan kesehatan jiwa yang terintegrasi di puskesmas merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang tercantum di dalam pasal 34. Undang-Undang ini merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan tugas negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi (to respect, to protect and to fulfill) hak masyarakat, di bidang kesehatan jiwa.



Integrasi kesehatan jiwa ini juga merupakan rekomendasi dari World Health Organization (WHO) dan World Organization of Family Doctors (WONCA), serta kebijakan regional ASEAN yang telah disepakati bersama oleh tiap Negara anggota. Hal ini juga merupakan kebijakan nasional yang tercantum dalam Peta Strategis, Rencana Aksi Kesehatan Jiwa tahun 2015-2019, lampiran RPJMN 2015-2019, dan Standar Pelayanan Minimal di Provinsi dan Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan tahun 2015-2019.



Penyelenggaraan layanan kesehatan jiwa di puskesmas berdasarkan Peta Strategis adalah puskesmas yang memiliki tenaga kesehatan terlatih kesehatan jiwa, melaksanakan upaya promotif kesehatan jiwa dan preventif terkait kesehatan jiwa, serta melaksanakan deteksi dini, penegakan diagnosis, penatalaksanaan awal dan pengelolaan rujukan balik kasus gangguan jiwa. Layanan tersebut dilakukan dengan memperhatikan komorbiditas fisik dan jiwa.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

www.ptmkeswa.blogspot.com

Kegiatan Penyakit Tidak Menular

Jum'at, 7 September 2023 Kegiatan Rutin PTM di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.